Pertemuan Ketiga : Allah Tritunggal
Allah yang benar adalah Allah yang tidak terbatas. Allah yang melampaui segala sesuatu. Allah Yang Esa. Allah yang tidak ada bandingnya, dan Allah menyatakan diri sebagai Allah Tritunggal. Istilah Tritunggal ini memang tidak ada di dalam Alkitab, baik Perjanjian lama maupun Perjanjian Baru. Yang tidak muncul di dalam Alkitab secara istilah, bukan berarti bukan konsep Alkitab. Sebaliknya, istilah yang muncul di dalam Alkitab jika ditafsir secara keliru menjadi bukan kebenaran Firman Tuhan. Faktanya, konsep atau doktrin Tritunggal ini terus menerus muncul di dalam Alkitab.
Tritunggal berarti Tiga Pribadi di dalam Satu Allah, atau di dalam satu esensi diri Allah, ada tiga Pribadi. Sebelum Abad Pertengahan, Gereja di Timur (Yunani Ortodox dan di Barat (Roma Katolik) mempunyai pengertian yang sangat berbeda dalam hal ini. Di Timur Gereja Ortodox banyak dipengaruhi oleh filsafat-filsafat Yunani, di Barat Gereja Katolik banyak dipengaruhi oleh pikiran-pikiran Latin. Ini mengakibatkan adanya dua cara pendekatan yang berbeda, yang akhirnya menimbulkan dua pandangan ekstrim terhadap doktrin Allah Tritunggal : (1) Pandangan yang menganggap adanya tiga Allah, atau (2) Pandangan yang menganggap adanya satu Allah yang menyatakan diri dalam tiga keadaan yang berbeda.
Doktrin Allah Tritunggal adalah doktrin Monotheisme (percaya hanya kepada Satu Allah), dan bukan Politheisme (percaya kepada banyak Allah). Doktrin Allah Tritunggal termasuk monotheisme, yang percaya kepada Allah Yang Maha Esa. Dan Allah Yang Maha Esa itu mempunyai Tiga Pribadi, bukan satu: Pribadi Pertama adalah Allah Bapa, Pribadi Kedua adalah Allah Anak (Yesus Kristus), dan Pribadi Ketiga adalah Allah Roh Kudus. Tiga Pribadi bukan berarti tiga Allah, dan satu Allah tidak berarti satu Pribadi. Tiga Pribadi itu mempunyai sifat dasar atau esensi (Yunani: Ousia, Inggris: Substance) yang sama, yaitu Allah. Allah Bapa adalah Allah. Allah Anak adalah Allah, dan Allah Roh Kudus adalah Allah. Namun Ketiganya memiliki Satu Ousia, yaitu esensi Allah. Maka Ketiga Pribadi itu adalah Satu Allah.
Apakah Tritunggal merupakan konsep Yunani? Ataukah merupakan konsep filsafat abad pertama hingga ke-empat? Ataukah hasil kesimpulan Bapa-Bapa Gereja? Ataukah ini merupakan konsep murni dari Alkitab? Kalau kita mempelajari konsep filsafat-filsafat yang penting mulai dari Thales sampai kepada Sokrates, Plato dan Aristoteles, kita tidak akan menemukan konsep Allah Tritunggal di dalam filsafat mereka. Bahkan sebelum Sokrates, mereka percaya kepada banyak dewa. Sokrates-lah yang pertama di dalam sejarah Yunani yang mencetuskan: “Saya percaya kepada Allah yang tertinggi, dan Allah yang satu-satunya, yaitu Allah yang sejati.” Pikiran Sokrates ini baru merupakan sesuatu Wahyu Umum yang murni yang mungkin dimengerti oleh manusia. Di dalam Seri Pembinaan Iman Kristen mengenai Iman dan Wahyu Allah, telah diuraikan bahwa berdasarkan Roma 1:19-20, pengetahuan mengenai keberadaan Allah yang sejati sudah diberikan kepada setiap manusia ciptaan-Nya, baik Kristen maupun bukan. Tetapi, akibat distorsi dan pencemaran oleh dosa didalam diri manusia, manusia tidak lagi mempunyai pengertian yang murni mengenai Allah, yang telah mewahyukan Diri secara umum dalam hati setiap manusia.
Di tengah-tengah pencemaran pengertian terhadap Wahyu Umum Allah ini, Sokrates merupakan salah seorang yang memiliki pengertian yang begitu murni mengenai Allah melalui Wahyu Umum. Namun, hal itu tidak cukup. Bukankah kita telah melihat bahwa Wahyu Umum hanya bisa dimengerti dengan murni melalui Wahyu Khusus? Kemungkinan sekali orang Yunani pada zaman Sokrates sudah dipengaruhi oleh konsep monotheisme dari orang Ibrani (bangsa Israel), karena sebelum kedatangan Kristus ke dunia, orang Ibrani sudah tersebar ke tiga tempat penting, yaitu: (1) ke Babilonia, semasa menjadi tawanan raja-raja Babel, seperti Nebukadnezar dll., (2) ke Alexandria, Mesir Utara, di mana Alkitab Perjanjian Lama sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani, yang disebut Septuaginta, dan (3) ke Daerah-daerah Roma-Yunani (Gracco-Roman), seperti Makedonia, tempat perdagangan yang ramai. Di tempat-tempat inilah orang-orang Ibrani sudah menerima Wahyu Khusus dan yang mengenal Allah yang Esa itu membawa kesaksian ini. Konsep monotheisme yang dibawa oleh orang-orang Ibrani inilah yang mungkin sekali sudah mempengaruhi Sokrates.
Ø Tiga hal penting mengenai konsep Allah Yang Esa ini perlu kita perhatikan.
· Pertama, konsep Allah Yang Esa ini merupakan sumbangsih terbesar dari orang-orang Israel (Ibrani) kepada dunia. Inilah konsep yang terbesar yang diberikan bangsa Israel kepada dunia. Jikalau kita mempelajari sejarah bangsa Israel di zaman Perjanjian Lama, kita akan menemukan bahwa setiap suku bangsa yang tinggal di sekitar daerah Israel mempunyai dewa-dewa mereka sendiri, dan mereka menyembah lebih dari satu dewa. Mereka saling membandingkan dewa-dewa mereka, dan mereka dapat berpindah ke dewa yang mereka anggap lebih besar atau lebih hebat. Dewa-dewa yang terkenal pada waktu itu adalah Baal, Dagon, Asyera, Asytoret, dan banyak lagi lainnya.
Dewa-dewa yang sangat banyak ini dianggap sebagai dewa-dewa pemelihara, baik dalam bidang politik, sosial, ekonomi, militer (dalam peperangan), maupun dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu, mereka bisa berpaling memuja dan menyembah dewa-dewa yang dianggap sesuai dengan kesejahteraan yang mereka butuhkan. Tetapi bangsa Israel tidak demikian ; mereka berbeda dari bangsa-bangsa di sekitarnya. Orang Israel tidak mempunyai konsep: Kita mempunyai Allah kita, mereka (bangsa-bangsa lain) mempunyai allah mereka; Allah kita adalah Allah Israel, allah mereka bukan Allah kita. Sebaliknya mereka mempunyai konsep Allah orang Israel adalah Allah seluruh alam semesta. Ini konsep yang sangat besar dan sangat penting.
Konsep ini menerobos semua konsep agama yang ada pada saat itu. Sejak permulaan Perjanjian Lama sudah tertulis ayat seperti demikian: “Allah yang mengadili seluruh bumi; bukankah Dia adil adanya?” (band. Kejadian 18:25). Konsep ini tidak terdapat pada suku-suku bangsa yang lain. Mereka hanya bersembah sujud kepada suatu dewa atau illah yang berhubungan dengan lingkup kesejahteraan mereka yang kecil dan terbatas. Tetapi, di dalam bangsa Israel, konsep Allah Yang Esa merupakan konsep yang bersifat universal dan supra alamiah. Konsep Allah Yang Satu-Satunya ini bukan Satu untuk satu suku, melainkan Satu untuk seluruh alam semesta. Konsep Allah Yang Satu-Satunya ini diulangi terus-menerus, sampai sebelum Musa mati, dia mengulanginya lagi sekali di dalam satu ayat yang disebut sebagai Syamma, Ayat Mas, ayat kunci untuk mengerti seluruh Taurat, yaitu Ulangan 6:4-5 : “Dengarlah, hai Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu Esa! Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap kekuatanmu.” Ayat ini, “TUHAN itu Allah Yang Esa!” merupakan prinsip dasar untuk mengerti seluruh Taurat dan Wahyu Tuhan di dalam Perjanjian Lama. Orang Israel mengetahui bahwa segala kebajikan di dalam iman kepercayaan dimulai dengan meletakkan iman mereka di atas dasar ini: Allah itu Esa. Sesudah itu Musa menuliskan: “Haruslah engkau mengikatkannya sebagai tanda pada tanganmu dan haruslah itu menjadi lambang di dahimu, dan haruslah engkau menuliskannya pada tiang pintu rumahmu dan pada pintu gerbangmu.” Orang Israel mengerti perintah ini secara hurufiah dan melaksanakannya, sehingga mereka betul-betul membuat kotak, lalu meletakkan suatu ayat yang indah ini di atas secarik kain dan mengikatkannya dikepala mereka. Padahal maksud Musa dengan Firman ini ialah Allah itu Esa harus senantiasa kamu ingat di dalam otakmu, di dalam segala pekerjaan dan tingkahlakumu, kemana pun engkau pergi, ingat: Allah itu Esa!
· Kedua, konsep Allah Yang Esa merupakan penyataan Allah yang serius, sehingga Dia menuntut sesuatu dari orang-orang yang menerima Wahyu Khusus ini. Allah itu Esa berarti kita tidak bisa sembarangan berserah atau menyerahkan diri kita kepada yang lain; kita harus menyerahkan diri kita kepada Allah Yang Esa dengan segenap hati, dengan segenap jiwa, dan dengan segenap kekuatan serta akal budi kita untuk mengasihi Dia. Disinilah kita melihat perbedaannya dengan agama. Mengenal Allah Yang Esa mengakibatkan hidup yang bersifat totalitas; maksudnya, seluruh hidup kita harus merupakan kesatuan di hadapan Allah.
· Ketiga, konsep Allah Yang Esa (tidak ada yang seperti Dia) ini menjadi dasar Teologi Tritunggal di dalam mengerti sifat Allah yang: (1). Transender, artinya Dia lain dari yang lain, dan Dia melampaui segala sesuatu. (2) Kudus atau suci, artinya kesucian-Nya tidak ada bandingnya, sekaligus menjadi Sumber segala kesucian. (3) Mutlak, artinya hanya Dia satu-satunya yang melampaui segala sesuatu yang relatif. (4) Sempurna, artinya Dia adalah Satu-Satunya yang tidak berkekurangan, yang mencukupi diri sendiri, serta menjadi Sumber yang mencukupi yang lain. (5) Kekal, artinya hanya Dia yang tidak mempunyai permulaan dan tidak mempunyai akhir, serta menjadi Sumber dari kekekalan.
Pada waktu Yesus di dunia, Dia mengajarkan Doa Bapa Kami dengan kata-kata, “Bapa kami yang di Sorga, dikuduskankanlah nama-Mu….” Allah Yang Esa adalah Allah yang harus dikuduskan, karena berbeda dengan yang lain. Pada waktu dewa-dewa dibandingkan dengan Allah, menjadi begitu nampak kepalsuan dan kenajisannya. Pada waktu Allah Yang Esa menyatakan diri-Nya, Dia selalu menggabungkan Keesaan-Nya ini dengan kekekalan-Nya, sehingga Dia berkata, “Siapakah yang dapat kau bandingkan dengan Aku? Akulah yang terdahulu dan Akulah yang terkemudian. Siapakah yang mengatakan dari dahulu kala hal-hal yang akan datang? Bukankah Aku, Tuhan? Tidak ada lain, tidak ada Allah selain dari pada-Ku.” (Yesaya 44:6-8; 45:20-22; 46:9-10). Pada waktu tuanya, Musa juga pernah menulis Mazmur dengan kalimat-kalimat: “Dari selama-lamanya sampai selama-lamanya Engkaulah Allah. Engkaulah Allah yang melampaui segala ciptaan.” (Mazmur : 90).
Allah itu Esa. Kalau Allah itu Esa, bagaimana kita bisa percaya bahwa di dalam Keesaan Allah itu mempunyai tiga Pribadi? Apakah ketiga Pribadi itu tidak bertentangan dengan Keesaan Allah? Sebaliknya, kalau Allah itu Tritunggal, mempunyai tiga Pribadi, bagaimana kita bisa percaya bahwa ketiga didalam Ketritunggalan Allah itu tetap adalah Allah Yang Esa? Di dalam satu ada tiga dan di dalam tiga tetap mempunyai Keesaan; bagaimanakah kita menjelaskan hal ini? Apakah ini konsep yang terikat oleh hukum matematika dan hukum logika manusia? Tidak! Sebab Allah adalah Allah yang transenden; Dia melampaui rasio dan logika manusia, melampaui segala sesuatu. Karena Allah adalah Allah bukanlah merupakan refleksi dari pikiran manusia tentang yang supra alamiah, maka Allah tidak diikat oleh logika, tidak diikat oleh matematika, dan mempunyai sifat supra alamiah yaitu: transenden.
Doktrin Allah Tritunggal merupakan Wahyu Allah yang diberikan kepada manusia secara bertahap (bersifat progresif). Di dalam Seri Pembinaan Iman Kristen mengenai “Iman dan Wahyu Allah” kita membahas istilah Wahyu Progresif (Progresif Revelation), yaitu Wahyu yang bersifat semakin maju, makin lama makin jelas; semakin lama muncul penjelasan-penjelasan yang semakin kompleks dan semakin sempurna. Bagaikan sebuah bibit bunga, yang ketika ditanam di tanah, mula-mula timbul daunnya, lalu tangkai, lalu akhirnya keluarlah bunga yang indah. Demikianlah juga pada waktu Allah memberikan Wahyu pengenalan akan diri-Nya, langkah demi langkah semakin lama semakin jelas. Pertama-tama Allah memberikan konsep pengenalan terhadap diri-Nya yang paling mendasar, yaitu Allah Yang Esa. Kemudian maju terus dengan wahyu yang semakin lama semakin jelas sampai kepada pengenalan bahwa Allah Yang Esa itu adalah Allah yang berpribadi tiga, Allah Tritunggal. Tetapi, mengapa tidak dari permulaan Allah menyatakan bahwa Dia adalah Allah yang mempunyai tiga Pribadi? Mengapa Dia memperkenalkan diri-Nya dengan memakai cara memberikan Wahyu yang bersifat memaju? Karena Allah ingin mencegah segala kemungkinan dari permulaan manusia sudah menangkap kesan atau konsep yang salah, sehingga jatuh kepada konsep politheisme. Maka monotheisme harus ditegakkan terlebih dahulu. Kepercayaan yang benar bukan kepada tiga Allah, melainkan kepada Satu Allah yang mempunyai tiga Pribadi. Maka kepercayaan kepada Allah Yang Esa haruslah ditegakkan lebih dulu, baru setelah itu secara lambat laun manusia diajarkan bahwa Allah Yang Esa itu mempunyai tiga Pribadi di dalam esensi atau substansi (sifat dasar) yang sama dengan Esa itu.
Kita telah melihat, pengertian yang salah terhadap doktrin Tritunggal ini bisa mengakibatkan manusia jatuh ke dalam dua kutub ekstrim yang salah, yaitu: (1) Monotheisme yang percaya kepada satu Allah dengan satu Pribadi dan tidak bisa menerima konsep Oknum Allah yang lebih dari satu; dan (2) Politheisme yang percaya kepada tiga allah yang tidak mungkin Esa, tidak mungkin mempunyai substansi yang sama. Kedua pandangan itu sesat dan merusak pengenalan kita terhadap Allah yang benar.
Untuk mencegah konsep yang salah itulah, Allah terlebih dahulu menegakkan konsep dasar: Allah itu Esa. Allah yang Tunggal, Allah yang Satu-Satunya. Apakah ini berarti bahwa konsep Tritunggal tidak diwahyukan oleh Tuhan sejak permulaan? Apakah konsep Tritunggal baru muncul belakangan? Tidak! Konsep Tritunggal sudah diwahyukan sejak mula sekali, sejak di permulaan Kitab Kejadian.
Keterangan
Cacatlah bagian-bagian Penting dan Kirimlah Foto cacatan Kalian
Comments