top of page

Dogmatika X (Karya Penciptaan Allah)



Pertemuan VIII: Karya Penciptaan Allah

“Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi” (Kej 1:1). Kitab Suci dibuka dengan kata-kata yang meriah ini. Pengakuan iman mengambil alih kata-kata ini, dengan mengakui Allah, Bapa yang mahakuasa itu, sebagai “Pencipta langit dan bumi”, yang menciptakan “segala sesuatu yang kelihatan dan tak kelihatan”. Pertama sekah kita akan berbicara tentang Pencipta, lalu tentang penciptaan, dan akhirnya tentang kejatuhan dalam dosa dan bagaimana Yesus Kristus Putera Allah mengangkat kita lagi dari dosa oleh kedatangan-Nya. Penciptaan adalah “awal tata keselamatan”, “awal sejarah keselamatan” (DCG 51) yang berpuncak pada Kristus. Sebaliknya misteri Kristus adalah terang misteri penciptaan yang menentukan; ia menyingkap tujuan, untuk apa Allah menciptakan “pada mulanya … langit dan bumi” (Kej 1:1). Sejak awal Allah telah memikirkan kemuliaan ciptaan baru di dalam Kristus.

Karena itu mulailah bacaan-bacaan pada malam Paskah, perayaan penciptaan baru di dalam Kristus, dengan kisah penciptaan. Demikian juga dalam liturgi Bisantin kisah penciptaan selalu merupakan bacaan pertama dari vigili hari-hari raya Tuhan. Seturut kesaksian umat Kristen bahari, pengajaran bagi para katekumen mengenai Pembaptisan mengikuti jalan yang sama dari penciptaan menuju penciptaan baru.

Katekese tentang penciptaan sangat penting. Karena ia menyangkut dasar-dasar kehidupan manusia dan kehidupan Kristen, karena ia merupakan jawaban iman Kristen alas pertanyaan-pertanyaan dasar yang dihadapi manusia segala zaman: “dari mana kita datang?”, “ke mana kita pergi?”, “dari mana kita berasal?”, “untuk apa kita hidup?”, “dari mana asal segala sesuatu yang ada, dan ke mana arahnya?”. Kedua pertanyaan yang menyangkut asal dan tujuan, tidak boleh dipisahkan satu dari yang lain. Mereka sangat menentukan arti dan orientasi kehidupan dan perbuatan kita.


I. Katekese mengenai Penciptaan

Pertanyaan mengenai asal bumi dan manusia adalah bahan banyak penelitian ilmiah, yang secara luar biasa memperkaya pengetahuan kita mengenai usia dan luasnya semesta alam, mengenai jadinya bentuk-bentuk kehidupan dan munculnya manusia. Penemuan-penemuan itu harus mendorong kita untuk lebih lagi mengagumi kebesaran pencipta, berterima kasih kepada-Nya untuk segala karya-Nya dan untuk pengetahuan dan kebijaksanaan, yang Ia berikan kepada para ilmuwan dan peneliti. Bersama Salomo mereka dapat berkata: “Ia sendiri telah memberi aku pengetahuan yang tidak menipu, tentang segala-gala yang ada supaya kukenal susunan alam semesta dan daya anasimya … oleh karena seniwati segala sesuatu, yaitu kebijaksanaan mengajar aku” (Keb 7:17-21).

Minat besar untuk penelitian-penelitian ini dipacu dengan kuat oleh pertanyaan lain, yang melampaui bidang ilmu pengetahuan alam yang sebenarnya. Pertanyaan itu tidak hanya menyangkut soal, bilamana dan bagaimana kosmos ini secara material terjadi dam bagaimana manusia muncul, tetapi menyangkut arti kejadian ini: apakah secara kebetulan, karena takdir buta, satu keharusan yang tidak dikenal atau oleh satu wujud yang inteligen dan baik, yang kita namakan Allah. Dan apabila bumi berasal dari kebijaksanaan dan kebaikan Allah, lalu mengapa ada kejahatan? Dari mana ia datang? Siapakah yang bertanggung-jawab untuk itu? Dan apakah ada pembebasan darinya?

Sejak dari dulu iman Kristen berhadapan dengan jawaban-jawaban menyangkut pertanyaan mengenai asal mula, yang bunyinya lain daripada jawaban Kristen. Dalam agama dan kebudayaan kuno terdapat banyak mitos mengenai asal usul bumi. Filsuf-filsuf tertentu mengatakan, segala-galanya adalah Allah; bumi ini adalah Allah atau jadinya bumi ini adalah jadinya Allah (Panteisme). Yang lain mengatakan, bumi ini secara mutlak mengalir keluar dari Allah; ia mengalir dari-Nya dan bermuara lagi pada-Nya. Yang lain lagi menegaskan, ada dua prinsip abadi, yang baik dan yang jahat, cahaya dan kegelapan; kedua prinsip ini selalu bergumul satu dengan yang lain (Dualisme; Manikheisme). Menurut pendapat-pendapat tertentu dunia ini (paling tidak dunia material) adalah jahat, satu gejala kemerosotan, dan dengan demikian harus ditolak atau ditinggalkan (Gnosis). Yang lain lagi mengakui bahwa bumi diciptakan Allah, tetapi bagaikan oleh seorang tukang arloji yang setelah membuatnya lain menyerahkannya kepada dirinya sendiri (Deisme). Akhirnya ada yang lain yang tidak mengakui asal bumi yang lebih tinggi, tetapi hanya melihat di dalamnya suatu permainan materi, yang sudah selalu ada (Materialisme). Semua percobaan penyelesaian itu membuktikan bahwa awal mula segala sesuatu selalu dan di mana-mana dipertanyakan. Mencari-cari adalah sifat khas manusia.

Memang akal budi manusia dapat menemukan jawaban atas pertanyaan mengenai asal segala sesuatu. Adanya seorang pencipta dapat diketahui dengan pasti dari karya-karya-Nya berkat cahaya akal budi manusiawi, walaupun pengetahuan ini sering digelapkan dan dinodai oleh kekhilafan. Oleh karena itu, iman memperkuat dan menerangi akal budi supaya ia mengerti kebenaran ini dengan tepat: “Karena iman kita mengerti, bahwa alam semesta telah dijadikan oleh firman Allah, sehingga apa yang kita lihat telah terjadi dari apa yang tidak dapat kita lihat” (Ibr 11:3).

Kebenaran mengenai penciptaan adalah sekian penting bagi seluruh kehidupan manusia, sehingga Allah dalam kebaikan-Nya hendak mewahyukan kepada bangsa-Nya segala sesuatu , yang perlu diketahui tentang hal-hal ini demi keselamatan. Selain pengetahuan kodrati tentang adanya pencipta yang dapat diperoleh setiap manusia, lama-kelamaan Allah mewahyukan kepada bangsa Israel misteri penciptaan. Ia, yang memanggil para bapa bangsa, yang mengantar bangsa pilihan-Nya keluar dari Mesir, menciptakan dan membentuknya, Ia mewahyukan Diri sebagai Dia, yang memiliki segala bangsa di bumi dan seluruh dunia, sebagai Dia, yang “menciptakan langit dan bumi” (Mzm 115:15; 124:8; 134:3) seorang Diri.

Dengan demikian wahyu mengenai penciptaan tidak dapat dipisahkan dari wahyu dan pelaksanaan perjanjian, yang diadakan Allah yang Esa dengan bangsa-Nya. Penciptaan diwahyukan sebagai langkah pertama menuju perjanjian ini, sebagai bukti pertama dan universal dari cinta Allah yang mahakuasa. Kebenaran penciptaan juga muncul semakin jelas dalam pesan para nabi, dalam doa mazmur dan dalam liturgi serta amsal bangsa terpilih.

Dari semua pernyataan Kitab Suci mengenai penciptaan, tiga bab pertama dari buku Kejadian mendapat tempat yang khusus. Dilihat dari sudut sastra, teks-teks ini dapat mempunyai sumber yang berbeda. Pengarang-pengarang yang diilhami menempatkannya pada awal Kitab Suci. Dalam bahasa yang meriah mereka dengan demikian mengungkapkan kebenaran mengenai penciptaan, asal dan tujuannya dalam Allah, peraturan dan kebaikannya, mengenai panggilan manusia dan akhirnya mengenai drama dosa dan harapan akan keselamatan. Kalau dibaca dalam cahaya Kristus, dalam kesatuan Kitab Suci dan dalam tradisi Gereja yang hidup, ungkapan-ungkapan ini merupakan sumber utama untuk katekese mengenai misteri-misteri “awal”: penciptaan, jatuhnya ke dalam dosa, janji keselamatan.


II. Ciptaan – Karya Tritunggal Mahakudus

“Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi” (Kej l:l). Tiga hal dinyatakan dalam kata-kata Kitab Suci yang pertama ini: Allah yang abadi menciptakan segala sesuatu yang ada di luar-Nya; hanya Ia sendiri adalah pencipta (kata kerja ibrani “bara” selalu mempunyai Allah sebagai subyek): segala sesuatu 326 yang ada – “langit dan bumi” – bergantung dari Allah, yang memberi keberadaannya.

“Pada mulanya adalah Sabda … dan Sabda itu adalah Allah. Segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada suatu pun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan” (Yoh 1:1-3). Perjanjian Baru mewahyukan bahwa Allah menciptakan segala sesuatu oleh Sabda, Putera-Nya yang kekasih. “Di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu yang ada di sorga dan yang ada di bumi … segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia. Ia adalah terlebih dahulu dari segala sesuatu, dan segala sesuatu ada di dalam Dia” (Kol 1:16-17). Iman Gereja memberikan juga kesaksian mengenai karya cipta Roh Kudus: Dialah yang “menghidupkan” (Syahadat Nisea-Konstantinopel), “Roh Pencipta” (“Veni, Creator Spiritus”), “sumber segala kebaikan” (Liturgi Bisantin).

Kesatuan yang tidak terpisahkan dari karya cipta Putera dan Roh dengan karya cipta Bapa dipratandai dalam Perjanjian Lama, diwahyukan dalam Perjanjian Baru, dan akhirnya diucapkan secara jelas dalam peraturan iman Gereja: “Hanya satu adalah Allah dan Pencipta … Ialah Bapa, Ialah Pencipta, Ialah pengasal, pembentuk, yang oleh Diri sendiri, artinya oleh Sabda-Nya dan kebijaksanaan-Nya mengadakan segala sesuatu” (Ireneus, haer, 2,30,9). “Oleh Putera dan Roh” yang seakan-akan adalah “tangan-Nya” (ibid., 4,20,1). Ciptaan adalah karya bersama Tritunggal Mahakudus.


III. “Dunia Diciptakan demi Kemuliaan Allah”

Kitab Suci dan tradisi selalu mengajar dan memuji kebenaran pokok: “Dunia diciptakan demi kemuliaan Allah” (Konsili Vatikan I: DS 3025). Sebagaimana santo Bonaventura jelaskan, Tuhan menciptakan segala sesuatu “bukan untuk menambah kemuliaan-Nya, melainkan untuk mewartakan dan menyampaikan kemuliaan-Nya” (sent. 2,1,2,2,1). Tuhan tidak mempunyai alasan lain untuk mencipta selain cinta-Nya dan kebaikan-Nya: “Makhluk ciptaan keluar dari tangan Allah yang dibuka dengan kunci cinta” (Tomas Aqu. sent.2, prol.). Dan Konsili Vatikan I menjelaskan:

“Satu-satunya Allah yang benar ini telah mencipta dalam kebaikan-Nya dan kekuatan-Nya yang mahakuasa – bukan untuk menambah kebahagiaan-Nya, juga bukan untuk mendapatkan [kesempurnaan], melainkan untuk mewahyukan kesempurnaan-Nya melalui segala sesuatu yang Ia berikan kepada makhluk ciptaan – karena keputusan yang sepenuhnya bebas, menciptakan sejak awal waktu dari ketidakadaan sekaligus kedua ciptaan, yang rohani dan yang jasmani” (DS 3002).

Adalah kemuliaan Allah bahwa kebaikan-Nya menunjukkan diri dan menyampaikan diri. Untuk itulah dunia ini diciptakan. “Dalam kasih Ia telah menentukan kita dari semula oleh Yesus Kristus untuk menjadi anak-anak-Nya, sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya, supaya terpujilah kasih karunia-Nya yang mulia” (Ef 1:5-6). “Karena kemuliaan Allah adalah manusia yang hidup; tetapi kehidupan manusia adalah memandang Allah. Apabila wahyu Allah melalui ciptaan sudah sanggup memberi kehidupan kepada semua orang yang hidup di bumi, betapa lebih lagi pernyataan Bapa melalui Sabda harus memberikan kehidupan kepada mereka yang memandang Allah” (Ireneus, haer. 4,20,7). Tujuan akhir ciptaan ialah bahwa Allah “Pencipta akhirnya menjadi `semua di dalam semua (1 Kor 15:28) dengan mengerjakan kemuliaan-Nya dan sekaligus kebahagiaan kita” (AG 2).



TUGAS:

Catatlah hal-hal penting yang terdapat pada materi kemudian kirimkan melalui WA guru mata pelajaran 085239027050 (Ibu Mety), ini sekaligus merupakan absensi

261 views0 comments

Recent Posts

See All

Comments


bottom of page