top of page

Pertemuan Kedua kelas X : PEMBIMBING KE DALAM DOKUMEN KEESAAN GEREJA



Pertemuan Kedua kelas X : PEMBIMBING KE DALAM DOKUMEN KEESAAN GEREJA

1. Sejak Sidang Raya (SR) X DGI/PGI di Ambon 1984 menyepakati Lima Dokumen Keesaan Gereja (LDKG), sangat dirasakan pentingnya dokumen ini dimiliki, dibaca, dipahami dan dilaksanakann oleh seluruh warga gereja, terutama oleh para pejabat di gereja,mulai dari tingkat Majelis Jemaat sampai ke tingkat Majelis Sinode.SR XI PGI tahun 1989 di Surabaya menguatkan keputusan itu dengan Keputusan nomor 05/SR-XI/1989, dan menyetujui penyusunan Buku Penjelasan LDKG dalam upaya menjemaatkannya, yang dilaksanakan oleh Gereja-gereja dalam kerjasama dengan PGI, PGI Wilayah, Lembaga Pendidikan Teologi dan lembaga-lembaga pembinaan lainnya.

2. Khusus mengenai Piagam Saling Mengakui dan Saling Menerima (PSMSM) (Keputusan SR XI PGI No. 09/SR-XI/1989 Sidang Raya memberikan catatan dan pokok-pokok pikiran, antara lain sebagai berikut:

”3.4. LDKG perlu dimasukkan sebagai materi pembinaan warga jemaat oleh gereja-gereja anggota PGI

3.5. LDKG perlu dimasukkan menjadi salah satu mata-kuliah pendidikan teologi bagi lembaga-lembaga pendidikan teologi dIndonesia.”

3. Mengingat pengalaman gereja-gereja antara Ambon-Surabaya yang tidak sedikit merasakan kesulitan untuk mengerti LDKG tanp pembimbing atau petunjuk, maka MPL-PGI 1990 yang menerima mandat SR XI Surabaya untuk menyusun Buku Penjelasan LDKG menyepakati rencana penerbitan buku serial penjelasan LDKG dalam rangka pengantar LDKG. Dalam hubungan ini MPL-PGI 1990 menetapkan Seri I dari Buku Penjelasan LDKG dengan judul ”Pembimbing Ke Dalam LDKG”. Buku pembimbing ini diharapkan dapat memandu para pembaca LDKG untuk memahami sejarah lahirnya LDKG, intisarinya, hubungan antar-LDKG dan sistematika masing-masing dokumen.


SEJARAH KELAHIRAN

”LIMA DOKUMEN KEESAAN GEREJA”

1. Secara resmi, LDKG lahir sebagai keputusan Sidang Raya X DGI diAmbon tahun 1984. Dalam perkembangan kemudian LDKG rumusan Ambon itu mengalami beberapa perubahan dalam upaya penyempurnaan dalam Sidang Raya XI PGI di Surabaya tahun 1989.Dalam SR XII PGI di Jayapura tahun 1994, LDKG yang disempurnakan di Surabaya lebih disempurnakan lagi.Namun, kita menyadari bahwa sebelum LDKG ini memperoleh bentuknya seperti sekarang ini, telah terjadi proses yang cukup panjang.

2. Ketika DGI dibentuk tahun 1950, dengan tujuan ”Pembentukan Gereja Kristen Yang Esa di Indonesia” belum ada bayangan atau gambaran mengenai Gereja Kristen Yang Esa di Indonesia. Baru kemudian diperkembangkanlah pemahaman dan gambaran mengenai apa yang dimaksud dengan Gereja Kristen Yang Esa tersebut. Dalam proses pengembangan pemahaman dan gambaran tersebut dari satu Sidang Raya ke Sidang Raya berikutnya, semakin dirasakan adanya semacam ketegangan antara 2 (dua) kecenderungan:

a. Kecenderungan untuk mengutamakan ”keesaan rohani dalam Kristus”, dan karena itu enggan membahas hal-hal yang menjurus pada penyatuan secara struktural-organisatoris.

b. Kecenderungan untuk mengutamakan keesaan structural organisasi, dan karena itu kurang sabar terhadap segala perbedaan dan sikap mempertahankan identitas diri masing- masing.

3. Dalam upaya menampung kedua kecenderungan tadi dan bersamaan pula dengan iklim yang sedang mempengaruhi Dewan Gereja-gereja se-Dunia (DGD) dengan pola pendekatan-nya melalui

3 (tiga) komisi, yaitu:

- Komisi Faith and Order (Iman dan Tata Gereja)

- Komisi Life and Work (Hidup dan Karya Gereja)

- Komisi Mission and Evangelism (Misi dan Pekabaran Injil),

maka DGI pun menata diri dengan pola tersebut. Dimulailah studi dan penyelidikan bersama mengenai Pengakuan Iman, Tata Gereja, Katekisasi, Liturgi yang digunakan oleh Gereja-gereja Anggota (Lih. Keputusan Sidang Raya II DGI 1953). Studi dan penyelidikan bersama ini memuncak dalam Sidang Raya VI di Ujung Pandang (sekarang Makassar) tahun 1967, denganmunculnya konsep:

(1) Tata Sinode Oikoumene Gereja di Indonesia (SINOGI)

(2) Pemahaman Iman Bersama.

4. Namun Gereja-gereja Anggota PGI tampaknya belum siap untuk menerima gagasan SINOGI dan Pemahaman Iman Bersama tersebut. Sidang Raya VII DGI di Pematang Siantar tahun 1971 kemudian berhasil menampung sebagian dari konsep SINOGI dengan memperbarui struktur DGI. Perubahan pokok yang terjadi ialah bahwa Badan Pekerja Lengkap (BPL) DGI bukan lagi hanya sejumlah kecil orang-orang yang dipilih oleh SR untuk bertindak atas nama semua gereja, tetapi keanggotaan BPL itu terdiri dari unsure pimpinan tiap Gereja Anggota yang ditunjuk oleh gerejanya dan disahkan oleh SR. Dengan demikian, kesepakatan yang diambil sepenuhnya mendapat dukungan oleh dan berakar di dalam gereja.

5. Sejak itu tidak sedikit yang telah kita capai dalam upaya mewujudkan keesaan gereja itu secara nyata. Namun, sementara itu banyak pula yang merasa bahwa apa yang telah dicapai itu terlalu sedikit dan bahwa kita bergerak terlalu lamban. Perlu diambil langkah yang lebih berani untuk segera memproklamasi-kan Gereja Kristen Yang Esa di Indonesia. Di pihak lain terdapat pandangan yang merasa bahwa apa yang telah tercapai itu justru sudah cukup maju. Kita jangan terlalu tergesa-gesa mengambil keputusan yang drastis.

PEMAHAMAN GEREJA TENTANG DOGMA

Gereja berasal dari kata ‘ekklesia’ dari LXX, yang menunjukkan persekutuan umat Israel. Ekklesia jelas buka istilah Yahudi, kata ini merupakan kata biasa dalam bahasa Yunani klasik untuk suatu kumpulan orang yang berkumpul atas panggilan pembawa berita, dan memang digunakan dalam Kis. 19:32 untu suatu persekutuan sekuler. Dengan demikian, ini merupakan kata benda yang tepat digunakan pada suatu masyarakat yang di dalamnya termasuk pula banyak orang bukan Yahudi. Namun, ‘Gereja’ tidak pernah digunakan untuk bangunan seperti sekarang ini, atau untuk suatu denominasi. Dalam 1 Kor. 12:28, Paulus menunjuk kepada mereka yang telah dipilih Allah dalam Gereja – benar-benar Gereja am – yaitu ‘rasul-rasul, nabi-nabi, dan sebagainya.

Gereja am juga disebut dengan nama yang berbeda: ‘Israel milik Allah’ (Gal. 6:16), ‘orang-orang bersunat’ (Fil. 3:3), yang menegaskan pengakuan bahwa Gereja adalah kelanjutan dan penyempurnaan umat pilihan dalam PL. Uraian lengkap mengenai ekklesia dalam PB terdapat di 1 Ptr. 2:9: ‘bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, kepunyaan Allah sendiri’.

Oleh karena itu, kata Inggris ‘church’merupakan terjemahan yang tepat untuk ekklesia. Kata tersebut seperti kata Scotlandia kirk, dan kata Jerman Kirche. Kemunkinan kata Kirche dibawa oleh para pedagang yang naik ke Danube dan turun ke Rhine.[1]

Gereja merupakan pokok pembahasan yang sangat dikenal namu sekaligus juga sangat disalahpahami. Bagi kebanyakan orang gereja merupakan titik perjumpaan yang pertama, bahkan mungkin satu-satunya, titik perjumpaan dengan kekristenan. Karl Barth mengamati bahwa salah satu cara gereja bersaksi tentang Yesus Kristus adalah dengan keberadaannya tersebut. Salah pengertian dalam memahami gereja disebabkan oleh berbagai penggunaan istilah gereja. Kadang-kadang istilah ini dipakai untuk menunjuk kepada bangunan arsitektural, sebuah gedung, misalnya gedung gereja GPIB. Kadang-kadang istilah ini dipakai untuk menunjuk kepada sekelompok orang percaya, misalnya GKI atau GSJA. Kali lain kata ini dipakai untuk mengacu kepada sebuah denominasi, suatu kelompok yang diasingkan oleh suatu ciri khas tertentu: misalnya gereja Prebiterian atau gereja Lutheran.

Salah satu alasan kurangnya pengertian ini, disebabkan oleh kenyataan bahwa dalam sejarah gereja tidak pernah doktrin gereja mendapatkan perhatian khusus sebagaimana yang diberikan kepada pokok-pokok doktrin lainnya. Pada siding pertama Dewan Gereja Sedunia di Amsterdam tahun 1948, Romo Georges Florovsky mengatakan bahwa dotrin tentang gereja belum melewati tingkat yang lebih tinggi dari tingkat prateologi. Sebagai kontras, Kristologi dan doktrin Tritunggal telah diberi pusat perhatian di abad ke-4 dan ke-5, sebagaimana halnya dengan karya pendamaian Kristus sepanjang abad-abad pertengahan dan dotrin keselamatan di abad ke-16. Namun perhatian khusus semacam itu belum pernah diarahkan kepada gereja.

Gerakan oikumenis abad ke-20 telah mendesak pokok pembahasan ini ke garis paling depan. Karena perhatian utama dari gerakan oikumene adalah hubungan antar organisasi gereja satu sama lain; dan manifestasinya yang paling nayata dalam bentuk “Dewan Gereja- Gereja.” John Macquarrie mengarahkan perhatian kita kepada kenyataan, bahwa sebagian besar pembahasan mengenai gereja adalah mengenai hubungan atau kedudukan gereja terhadap dunia di sekitarnya. Penekanan terhadap masalah-masalah seperti perubahan sosial dan pelaksanaan misi gereja dan bukan kepada gereja sendiri lebih disebabkan oleh pergeseran umum yang menghasilkan cara berpikir yang lebih sekular. Dengan kata lain, telah terjadi suatu perubahan besar terhadap cara kita memandang Allah; kini imanensinya lebih ditekankan dari pada transedensinya. Allah kini tidak lagi dipandang sebagai menghadapi dunia ini lewat cara adikodrati, yaitu gereja. Pada umumnya gereja kini tidak lagi dilihat sebagai pengejawantahan kehadiran dan kegiatan ilahi di dalam dunia sebagai perantara Allah yang khusus. Kini dipahami bahwa Allah menghadapi dunia lewat berbagai yayasan dan cara. Penekanannya adalah pada apa yang dilakukan oleh Allah dan bukan pada siapa Dia itu. Oleh karena itu, kini lebih diperhatikan pelaksanaan misi gereja daripada identitas serta batas-batasnya. ­­­Dalam bentuk yang paling canggih gereja dipandang sebagai tempat penyimpanan anugerah ilahi.

Definisi Empiris – Dinamis mengenai Gereja

Abad ke-20 dengan ketidaksenangan yang tersebar luas terhadap pemikiran filsafat, khususnya terhadap metafisika dan ontologi, kurang sekali memperhatikan sifat teoritas dari suatu hal, melainkan lebih tertarik pada manifestasi historis yang konkret. Oleh karena itu, teologi modern tidak terlalu tertarik pada hakikat gereja, yaitu “apa gereja itu sebenarnya” atau “bagaimana seharusnya keadaan gereja”, melainkan pada perwujudannya, secara konkret dan dinamis. Gereja tidak dilihat berdasarkan hakikatnya, melainkan berdasarkan eksistensinya – suatu tafsiran yang jelas bersifat eksistensialistik. Gereja merupakan satu peristiwa, dan bukan kesatuan yang lengkap dan terwujud. Banyak pakar teologi merujuk kepada sejarah gereja untuk menunjukkan jati-diri gereja: gereja adalah sebagaimana ia tampil dalam sejarah. Beberapa di antaranya melihat gereja sebagai suatu gejala PB saja; maksudnya, mereka membatasi studi sejarah mereka pada periode gereja yang paling mula-mula, karena itu dianggap paling menentukan. Gereja seharusya menjadi seperti mula-mula.

Definisi Alkitabiah-Filologis mengenai Gereja

Istilah gereja dalam bahasa Inggris (church) dan istilah sama dalam bahasa serumpun, berasal dari bahasa Yunani kuriakos yang artinya “menjadi milik Tuhan.” Akan tetapi kata-kata tersebut harus dipahami dalam terang PB ekklesia. Sekalipun istilah ini merupakan istilah yang sering dipakai, namun pemakaiannya di dalam PB tidak teratur. Satu-satunya pemakaian istilah ini di dalam Injil-injil adalah di Mat. 16:18 dan 18:17, yang penggunaannya pun sering kali dipersoalkan. Arti dari konsep ini di dalam PB harus dilihat dengan dua latar belakang, yaitu bahasa Yunani klasik dan PL. dalam bahasa Yunani Klasik ekklesia ditemukan sudah sejak zaman Herodotus, Thucydides, Xenophon, Plato serta Euripides (abad ke-5 sM dan seterusnya). Istilah ini merujuk kepada sekelompok orang warga negara sebuah kota (polis). Dalam arti kata yang sekular, maka istilah ini merujuk kepada sekelompok orang yang berkumpul. Yang lebih penting bagi kita adalah latar belakang PL nya. Di dalam PL kita berjumpa dengan dua istilah bahasa Ibrani yaitu qahal dan ‘edah. Istilah qahal yang mungkin sekali berakar pada kata yang artinya suara, merujuk kepada panggilan untuk berkumpul serta tindakan berkumpul itu sendiri. Istilah ‘edah muncul secara khusus di kitab Pentateukh, lebih dari separuh terdapat dalam kitab Bilangan. Istilah ini merujuk kepada umat, khusunya yang berkumpul di depan kemah pertemuan. Kenyataan bahwa istilah ini dipakai pertama kali dalam Kel. 12:3 mengusulkan bahwa “jemaah” Israel itu berawal pada perintah untuk merayakan Paskah dan meninggalkan Mesir. ‘Edah sudah pasti merupakan istilah permanen bagi jemaat Israel secara menyeluruh. Di pihak lain qahal merupakan istilah keagamaan yang dilakukan oleh jemaat yang terkumpul oleh perjanjian, yatu bagi jemaat di Sinai dan dalam pengertian Ulangan (Deuteronomistik), untuk jemaat dalam bentuk sekarang.

Pada saat kita memeriksa Septuaginta, akan tampak bahwa istilah ekklesia sering kali dipakai untuk menerjemahkan istilah qahal, namun tidak pernah untuk istilah ‘edah. Istilah ‘edah sering kali diterjemahkan dengan istilah sunagoge. Istilah yang juga dipakai untuk menerjemahkan qahal. Kata ekklesia merupakan sumber utama kita untuk mengerti konsep gereja dalam PB. Bagian pembukaan dari kitab Wahyu (Wah. 1-3) merupaka surat yang ditujukan kepada tujuh jemaat secara khusus. Dalam Kisah. Istilah ekklesia juga dipakai untuk menunjuk kepada semua orang Kristen yang hidup dan berkumpul di kota tertentu, misalnya Yerusalem (Kis. 5:11). Pengertian jemaat setempat ini jelas merupakan unsur yang ditekankan dalam pemakaian sebagian besar istilah ekklesia ini. Akan tetapi, dalam banyak kasus, penggunaan istilah ekklesia memiliki pengertian yang lebih luas – semua orang percaya di kota tertentu (Kis. 8:1; 13:1). Gereja bukan jumlah atau gabungan dari kelompok orang percaya di berbagai lokasi tersendiri. Karl Schmidt mengatakan, “Kami telah kemukakan bahwa jumlah keseluruhan jemaat local tidak menghasilkan seluruh umat Allah atau gereja. Setiap jemaat local, betapapun kecilnya, mewakili seluruh umat Allah, yaitu gereja. Gereja adalah tunggal di seluruh dunia, namun pada saat yang sama gereja hadir dalam bentuk jemaat local tersendiri.

Tubuh Kristus

Gambaran yang sempurna tentang gereja adalah di mana ketika gereja disebut sebagai tubuh Kristus. Gambaran gereja sebagai tubuh Kristus menekankan bahwa gereja merupakan tempat kegiatan Kristus saat ini, sebagaimana halnya dengan tubuh jasmaniah-Nya ketika masih di bumi. Gambaran ini diapakai untuk gereja secara universal maupun secara lokal. Tubuh kita hendaknya merupakan tubuh yang dipersatukan. Para anggota gereja di Korintus terpecah belah oleh karena persoalan siapa pemimpin yang harus mereka ikuti (1 Kor. 1:10-17; 3:1-9). Hal ini sebenarnya tidak boleh terjadi, karena semua anggota gereja telah dibaptis dalam satu Roh menjadi satu tubuh (1 Kor. 12:12-13). Sebagai tubuh Kristus, gereja meruapakan perpanjangan dari pelayanan-Nya. Dia menugaskan murid-murid-Nya untuk melanjutkan karya pelayanan-Nya, bahkan dalam taraf yang lebih menakjubkan (Yoh. 14:2). Dengan demikian, apabila karya Kristus dilanjutkan, maka karya tersebut dilaksanakan oleh gereja, yaitu tubuh-Nya.

Bait Roh Kudus

Gereja adalah gambaran sebagai Bait Roh Kudus. Roh Kuduslah yang membuat gereja menjadi ada. Gereja kini didiami oleh Roh Kudus, baik secara perorangan maupun secara kolektif. Seperti yang terdapat dalam 1 Kor. 3:16-17, bahwa: kita adalah Bait Allah dan juga Roh Allah diam di dalam kita. Karena Dia mendiami gereja, maka Roh Kudus menyalurkan kehidupan-Nya ke dalam gereja. Roh Kuduslah yang menyalurka kuasa ilahi kepada gereja. Roh Kudus juga menghasilkan kesatuan di dalam tubuh Kristus. Kesatuan ini jangan diartikan sebagai keseragaman, melainkan kesatuan dalam tujuan dan tindakan. Sebagaimana seperti gereja mula-mula, di mana mereka saling bersatu hati dan saling rasa memiliki satu dengan yang lainnya (Kis. 2:44-45). Roh Kudus yang mendiami gereja, juga menciptakan kepekaan terhadap pimpinan Tuhan.

Gereja (bahasa Portugis: igreja dan bahasa Yunani: εκκλησία (ekklêsia)) adalah suatu kata bahasa Indonesia yang berarti suatu perkumpulan atau lembaga dari penganut Kristiani. Istilah Yunani ἐκκλησία, yang muncul dalam Perjanjian Baru di Alkitab Kristen biasanya diterjemahkan sebagai "jemaat". Istilah ini muncul dalam 2 ayat dari Injil Matius, 24 ayat dari Kisah Para Rasul, 58 ayat dari surat Rasul Paulus, 2 ayat dari Surat kepada Orang Ibrani, 1 ayat dari Surat Yakobus, 3 ayat dari Surat Yohanes yang Ketiga, dan 19 ayat dari Kitab Wahyu.

Etimologi

Gereja berasal dari bahasa Portugis: igreja, yang berasal dari bahasa Yunani: εκκλησία (ekklêsia) yang berarti dipanggil keluar (ek= keluar; klesia dari kata kaleo= memanggil); kumpulan orang yang dipanggil ke luar dari dunia memiliki beberapa arti:

1. Arti pertama ialah 'umat', atau lebih tepat, 'persekutuan' orang Kristen. Arti ini diterima sebagai arti pertama bagi orang Kristen. Jadi, gereja pertama-tama bukanlah sebuah gedung.

2. Arti kedua adalah sebuah perhimpunan atau pertemuan ibadah umat Kristen. Bisa bertempat di rumah kediaman, lapangan, ruangan di hotel, maupun tempat rekreasi.

3. Arti ketiga ialah mazhab (aliran) atau denominasi dalam agama Kristen. Gereja Katolik, Gereja Protestan, dan lain-lain.

4. Arti keempat ialah lembaga (administratif) daripada sebuah mazhab Kristen. Contoh kalimat “Gereja menentang perang Irak”.

5. Arti terakhir dan juga arti umum adalah sebuah “rumah ibadah” umat Kristen, di mana umat bisa berdoa atau bersembahyang.

Gereja (untuk arti yang pertama) terbentuk 50 hari setelah kebangkitan Yesus Kristus pada hari raya Pentakosta, yaitu ketika Roh Kudus yang dijanjikan Allah diberikan kepada semua yang percaya pada Yesus Kristus.

Abad ke-20 dengan ketidaksenangan yang terbesar luas terhadap pemikiran filsafat, khususnya terhadap metafisika da ontologi, kurang sekali memperhatikan sifat teorits dari suatu hal, melainkan lebih tertarik pada manifestasi historis yang konkret. Oleh karena itu, teologi modern tidak terlalu tertarik pada hakikat gereja, yaitu “apa gereja itu sebenarnya”, atau “bagaimana seharusnya keadan gereja”, melainkan pada perwujudannya, secara konkret dan dinamis.

Kekristenan pada masa kini menghadapi masa-masa sulit, baik dari luar maupun dari dalam gereja, yaitu:

1. Dari luar gereja: ide-ide yang tidak alkitabiah lebih banyak digemari orang daripada doktrin atau ajaran yang benar.

2. Dari dalam gereja: musuh dalam selimut (ajaran sesat/sensasional dan gaya hidup yang tidak sesuai dengan ajaran Alkitab).

Tantangan lebih khusus juga dihadapi oleh kaum muda abad ke-21, yaitu:

· Masa pencarian jati diri: kehidupan yang masih labil dan mudah terprovokasi dari luar.

· Mempertanyakan masa depan: pekerjaan, karier, pasangan hidup, dll..

· Menaruh antusiasme yang tinggi terhadap teknologi: iPad, internet, BlackBerry, dan Smartphone.

· Menaruh perhatian pada ekspose kekerasan: film-film sadis, horor, dll..

· Mengalami situasi keluarga yang terpecah: tinggal jauh dari keluarga, keluarga yang bercerai, tetangga tidak saling kenal, dll..

· Menaruh perhatian pada eksploitasi seksual: film porno dan menyamakan seks dengan kasih.

· Menaruh perhatian pada hal-hal baru dan ajaib: tayangan sulap, film tentang sihir, buku tentang jalan-jalan ke surga, dll..

· Menentang otoritas dari luar dirinya.

Keteguhan hati untuk berpegang pada firman Allah secara benar dan bertanggung jawab akan menghindarkan kita dari berbagai pengaruh ajaran sesat

Jika kita melihat situasi abad ke-21 ini, tidak dapat diingkari bahwa anak muda perkotaan merupakan sasaran paling empuk dari segala bentuk pengajaran sesat pada masa kini. Padahal, masa depan gereja terletak di tangan kaum muda. Meskipun demikian, patut disyukuri bahwa survei Gallup baru-baru ini memperlihatkan bahwa hampir 60 -- 80 persen kaum muda Kristen di Indonesia masih menaruh perhatian serius pada hal-hal spiritual dan kegiatan gereja meskipun dengan motivasi yang berbeda-beda. Pada abad ke-21 ini, Tuhan menginginkan ada restorasi terjadi dalam gereja. Memahami peran sentral kaum muda bagi masa depan gereja. Bagaimana sikap yang benar dari kaum muda Kristen menghadapi situasi dan perkembangan dunia masa kini?

1. Berpegang pada ajaran Alkitab (Mazmur 119:9; 2 Timotius 3:15-17).

Hidup manusia gereja terletak pada kepercayaan terhadap Alkitab sebagai firman Allah. Penolakan terhadap Alkitab merupakan awal penolakan dari keruntuhan kekristenan. Kaum muda harus terus belajar untuk memandang segala persoalan kehidupan dari perspektif Alkitab (soal masa depan, pacaran, menikah, karier, makna, dan tujuan hidup). Kehidupan yang berdasar pada Alkitab dan berorientasi pada kemuliaan Allah merupakan modal dasar yang penting bagi kebahagiaan masa muda dan kekuatan untuk menghadapi tantangan apa pun pada usia muda, bahkan hingga masa tua.

2. Mengenal dan mempelajari doktrin atau ajaran dasar iman Kristen.

Dibutuhkan pengetahuan yang benar akan isi firman Allah. Keteguhan hati untuk berpegang pada firman Allah secara benar dan bertanggung jawab akan menghindarkan kita dari berbagai pengaruh ajaran sesat. Bahkan, ketika menghadapi kesulitan dan penderitaan, kita akan lebih tabah dan kuat jika hidup dalam kebenaran firman Allah. Karena itu, kaum muda harus takut dan bersemangat untuk mempelajari Alkitab, membaca buku-buku teologi, mengikuti pemahaman Alkitab dan pembinaan di gereja, aktif dalam kegiatan KTB (Kelompok Tumbuh Bersama), dan kegiatan-kegiatan lainnya.

3. Melibatkan diri secara aktif dalam pelayanan gereja.

Tidak dapat dimungkiri bahwa masa muda adalah masa suka berkumpul. Ikatan emosional dengan teman/sahabat jauh lebih kuat daripada dengan keluarga. Namun, perlu diperhatikan bahwa "pergaulan yang buruk merusakkan kebiasaan yang baik" (1 Korintus 15:33). Menghadapi situasi ini, pilihan terbaik adalah gereja sendiri. Melalui Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) dan kegiatan gereja lainnya, kaum muda dapat menyalurkan kreativitas dan bakatnya untuk mengembangkan potensi diri maupun sesamanya. Oleh sebab itu, gereja harus menaruh perhatian serius supaya kegiatan-kegiatan gereja berdampak secara efektif untuk pengembangan sumber daya kaum muda serta terus mendorong mereka untuk semakin mencintai gereja, serta menjadikan gereja sebagai "milik" mereka sehingga setiap generasi kaum muda merasa perlu untuk terlibat secara aktif memajukan gereja.

Sering kali, terjadi gap antara generasi tua dengan generasi muda di dalam gereja. Generasi tua "ngotot" untuk menerapkan cara lama yang sudah bertahun-tahun dipraktikkan, sedangkan generasi muda merumuskan dengan cara dan kegiatan baru karena beranggapan bahwa produk generasi tua sudah "ketinggalan zaman". Dampaknya, sering kali konflik dan kesenjangan terjadi. Untuk menghindari hal tersebut, generasi tua sebaiknya melakukan evaluasi terhadap kegiatan gereja (yang dianggap tidak efektif dan tidak relevan harus rela dibarui, yang masih relevan dipertahankan) agar tetap relevan dengan perkembangan zaman, tetapi tetap alkitabiah, serta meningkatkan komunikasi dan kebersamaan dengan generasi muda sehingga mata rantai regenerasi gereja tidak terputus. Berkaca dari gereja di Barat, generasi tua harus memikirkan pentingnya kaderisasi bagi kaum muda gereja sehingga tercipta kaum muda dan generasi penerus yang semakin berkualitas dan memuliakan nama Tuhan. Soli Deo Gloria

TUGAS

1. APA ITU DOGMA!

2. APA YANG DI MAKSUD DENGAN GEREJA !

3. SEBUTKAN TANTANGAN-TANTANGAN KAUM MUDA DI ABAD KE-21!

66 views0 comments

Recent Posts

See All

Comments


bottom of page