Materi pertemuan VIII
PERAN GEREJA DALAM LAPANGAN PEKERJAAN
Semakin meningkatnya dan tidak terjangkaunya harga kebutuhan hidup menyebabkan semakin meningkatnya pula kesulitan hidup yang dialami oleh masyarakat. Hal ini khususnya dirasakan dan dialami oleh mereka yang tidak bekerja maupun yang menganggur karena kena PHK. Gereja seharusnya mulai tanggap dengan keadaan ini. Sebagai wujud kepeduliannya, gereja bisa memulai dengan melibatkan diri melalui bidang sosial dengan mendidik dan membekali jemaatnya yang tidak memiliki pekerjaan dengan keterampilan khusus. Dengan demikian, gereja diharapkan bisa membantu mereka membuka lapangan kerja baru atau menjadikan mereka tenaga yang siap kerja. Memang bukan hal yang mudah bagi gereja untuk bisa melakukan hal ini, tetapi tidak ada salahnya juga jika mulai sekarang gereja mulai mencobanya. Dengan demikian, selain berperan sebagai pemelihara iman jemaat, gereja juga bisa berkontribusi dalam bidang kesejahteraan sosial jemaat.
Upaya Gereja Memberdayakan Ekonomi Umat
Dalam konteks memberdayakan dan memandirikan ekonomi umat, maka langkah pertama yang perlu dilakukan Gereja adalah mengubah orientasi Gereja mandiri itu sendiri. Gereja mandiri harus dimulai dengan memandirikan umat. Kalau umatnya diberdayakan maka umatnya akan mandiri. Kalau umatnya mandiri secara ekonomi, maka mereka pun pasti akan mampu menghidupi bukan saja dirinya dan keluarganya tetapi juga mampu menghidupi Gerejanya. Atas dasar itu, Gereja harus menjadi fasilitator dan dinamisator yang akan menggerakkan perekonomian umatnya. Kalau perekonomian umat bergerak maju, masyarakat akan sejahtera, dan mereka pun pasti akan bisa menghidupi Gereja. Di beberapa kota banyak wirausahawan yang lebih suka merekrut tenaga kerja via Gereja, karena mereka percaya Gereja akan merekomendasikan tenaga kerja yang berakhlak dan berintegritas. Demikian pula sebaliknya para pencari kerja lebih suka mendaftar via Gereja karena pasti akan diarahkan ke perusahaan yang baik, perusahaan yang mau dan mampu menghargai hak dan kewajiban para pekerjanya. Untuk itu Gereja perlu selektif dalam memilih perusahaan yang akan difasilitasi dan tenaga kerja yang akan direkomendasi. Perusahaan yang difasilitasi adalah perusahaan yang menghargai etika bisnis, sebaliknya tenaga kerja yang direkomendasi adalah tenaga kerja yang berakhlak dan berintegritas.
Langkah lain yang perlu dilakukan Gereja saat ini adalah membantu pemerintah menciptakan wirausahawan-wirausahawan yang tangguh dan berkepribadian dengan memberikan berbagai jenis pendidikan dan pelatihan informal. Sebagai contoh, Gereja bisa mengembangkan berbagai kursus dan pendidikan ketrampilan seperti tukang kayu, tukang batu, otomotif, montir, ketrampilan keputrian dan sebagainya. Kalau dulu Gereja Katolik Manggarai misalnya, melalui Ambaks mampu menghasilkan banyak tenaga tukang yang trampil dan handal, saya kira saat inipun sangat mungkin Gereja mengembangkan nya lagi. Mungkin orientasinya yang perlu diperluas dan dipertajam. Mereka tidak lagi dididik dan dilatih sebatas menjadi tukang/ pekerja yang handal, tetapi diarahkan untuk menjadi wirausahawan yang tangguh.
Dalam hal ini Gereja tidak lagi sebatas menyalurkan tenaga-tenaga yang telah dididiknya itu ke lapangan-lapangan kerja yang telah tersedia, tetapi juga memfasilitasi mereka untuk menciptakan peluang dan lapangan kerja. Untuk itu Gereja perlu memberikan pinjaman modal dan memotivasi mereka agar tergerak menciptakan lapangan kerja yang sesuai dengan kemampuan dan ketrampilan yang mereka miliki. Efek yang diharapkan nantinya mereka akan mempekerjakan yang lain sehingga pengangguran bisa ditekan, dan kesejahteraan masyarakat bisa ditingkatkan. Langkah strategis lainnya yang bisa dilakukan oleh Gereja adalah membentuk Unit Usaha yang berorientasi ekonomi. Unit Usaha ini harus dikelolah secara profesional dengan mempercayakan pengelolaannya kepada pihak-pihak yang benar-benar ahli dan profesional, setidaknya pada tingkat manajerialnya, sedangkan untuk pekerjanya bisa direkrut dari umat yang ada. Tujuan dari unit usaha ini agar Gereja mempunyai penghasilan/ pendapatan yang nantinya bisa dikelolah untuk membantu memperlancar pelayanan Gereja sekaligus membantu Gereja memberdayakan umat.
Gereja rasa-rasanya sudah saatnya membentuk Koperasi Serba Usaha (KSU) bahkan Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Ini mungkin bukanlah hal baru untuk beberapa Gereja di NTT, karena selama ini sudah ada Gereja yang mengembangkan koperasi, tetapi yang ingin ditekankan disini adalah yang penanganannya agar profesional dan terintegrasi. Dalam hal ini perlu ditegaskan dari awal bahwa Gereja dalam arti hirarkhis tidak boleh menangani unit usaha tersebut secara langsung. Gereja hanya membuat kebijakan dan mengawasi jalannya usaha agar tidak melenceng dari visi dan misi Gereja. Penanganan unit usaha harus dipetcayakan kepada ahlinya, harus dikelolah secara profesional dan harus sesuai dengan kebijakan yang telah digariskan Gereja. Dengan demikian tidak akan terjadi konflik kepentingan, Gereja bisa fokus dengan pelayanannya dan unit usaha bisa berkembang optimal. Kalau Gereja membentuk Unit Usaha misalnya KSU atau BPR selain akan meningkatkan pendapatan Gereja juga akan membantu umat. Ada sebagian umat yang bisa direkrut sebagai tenaga kerja sehingga menekan pengangguran. Umat bisa mendapatkan sembako dengan harga yang lebih murah, umat juga bisa menjual produk-produknya melalui unit usaha tersebut, hal ini karena unit usaha yang ada bisa membantu membeli, menampung dan mendistribusikan produk-produk yang dihasilkan masyarakat dengan harga yang lebih pantas dan menguntungkan.
Mengapa Gereja perlu didorong untuk membentuk KSU atau BPR, karena selama ini perekonomian NTT hanya dikuasai oleh segelintir orang secara monopolis, sedangkan mayoritas masyarakat hampir tidak punya akses, sehingga tetap miskin dan berkekurangan. Dalam kemiskinannya masyarakat sangat tidak mungkin bisa berkembang jika tanpa bantuan stimulan dan bantuan permodalan. Masalahnya, mereka dengan kondisinya yang seperti itu tidak mungkin bisa meminjam dari perbankan yang ada karena pasti membutuhkan banyak persyaratan yang hampir pasti tidak bisa mereka penuhi. Dengan adanya KSU atau BPR, Gereja sebagai pemegang saham mayoritas bisa membuat kebijakan yang lebih berpihak kepada masyarakat miskin. Sebagai contoh Gereja bisa membuat kebijakan agar memberi pinjaman tanpa jaminan harta melainkan orang (tokoh Gereja), memberi pinjaman dengan bunga sangat murah, dan sebagainya.
Selama ini ada banyak yang kontra di kalangan hirarkhis mengenai boleh tidaknya Gereja memiliki Unit Usaha Ekonomi. Mereka menilai adanya unit usaha tersebut bisa membuat kontribusi terhadap pelayanan Gereja bisa berkurang, dan itu bukan merupakan tugas Gereja khususnya hirarkhis. Tidak salah pandangan demikian.
Memang tugas utama Gereja adalah memberikan pelayanan yang bersifat gerejawi. Tapi itu tidak berarti Gereja tidak boleh memiliki unit usaha. Gereja justru harus didorong agar mempunyai unit usaha ekonomi. Hanya saja agar tidak mengganggu pelayanan hirarkhis, unit usaha tsb tidak boleh dikelolah oleh hirarkhis, tetapi ditangani oleh profesional yang dipekerjakan dan digajih secara layak. Gereja, dalam arti hirarkhis cukup melakukan pengawasan.
Comments