top of page

Misiologi XI (Ekumene)



MATERI PERTEMUAN X


SEJARAH EKUMENISME DAN TOKOH-TOKOH YANG BERPENGARUH

1. Pengertian Ekumene

Secara etimologis, kata “ekumene” berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari dua

kata oikos, yang berarti “rumah” dan menein, yang berarti “tinggal atau mendiami”. Kedua kata ini jika digabungkan akan menjadi oikumene yang secara harafiah berarti “yang didiami.” Istilah oikumene sering digabungkan dengan kata “ge” (disebut oikumene ge) yang berarti “dunia atau bumi”, tetapi kata benda ini sering tidak disebutkan secara eksplisit. Masyarakat Yunani mula-mula menggunakan istilah oikumene (selanjutnya disebut ekumene) untuk mengartikan “bagian bumi yang didiami orang,” kemudian ekumene mendapat arti seluruh Kekaisaran Romawi dan semua penduduknya.

Sekitar abad ke-2 dan abad ke-3 (abad-abad awal lahirnya kekristenan), istilah ekumene mulai dihubungkan dengan Gereja. Ekumene berarti seluruh dunia yang didiami dan yang dikuasai oleh Kekaisaran Romawi, menjadi tempat Gereja menjalani misinya. Dengan kata lain, wilayah di mana Gereja berkarya untuk mewartakan Injil adalah ekumene. Gereja ekumene (atau Gereja di dalam wilayah Kekaisaran Romawi) memiliki arti yang sama dengan Gereja universal, sebab orang-orang Kristen Yunani dan Romawi hampir tidak menyadari bahwa di luar batas-batas Kekaisaran Romawi juga tinggal orang-orang yang dapat menjadi sasaran Injil. Pada saat Gereja diakui oleh kekaisaran, terutama ketika Kerajaan Romawi menjadi “sama dengan Kerajaan Gerejani,” pemahaman tentang ekumene dan Gereja menjadi satu pengertian. Ekumene duniawi berarti juga ekumene gerejani, di mana Gereja dan Kekaisaran bersatu padu.Dengan demikian istilah ekumene mendapat arti “Gereja seluruhnya, yaitu Gereja yang dianggap dan diakui sebagai Gereja yang kudus, Gereja yang sah, yakni Gereja Katolik”.

Pada abad ke-18 terjadi lagi perubahan arti ekumene dalam kalangan Protestan. Ekumene diartikan sebagai pengungkapan bagi suatu sikap yang melampaui batas-batas negara tertentu dan memperhatikan kepentingan Gereja di seluruh dunia. Dan pada tahun 1925 dengan hadirnya Konferensi “Life and Work” di Stocolm, kata ekumene dirumuskan dengan makna baru, dan makna baru itu dirumuskan secara baik dalam Konferensi “Faith and Order” pada tahun 1937 di Oxford. Ekumene dihubungkan dengan ekspresi sejarah persatuan yang telah dicapai Gereja, sehingga, ekumene dipahami sebagai usaha persatuan kembali kaum Kristiani atau Gereja-gereja yang terpecah.

Konsili Vatikan II, melalui Dekrit tentang Ekumenisme mendefenisikan gerakan ekumene sebagai suatu gerakan yang didorong oleh rahmat Roh Kudus untuk memulihkan persatuan segenap umat Kristiani melalui kegiatan-kegiatan dan usaha-usaha, yang menanggapi bermacam-macam kebutuhan Gereja dan berbagai situasi untuk kesatuan umat yang terpecah-pecah. Gerakan ekumene juga merupakan suatu rahmat Allah, yang diberikan oleh Bapa menjawab doa dari Yesus dan permohonan dari Gereja yang diilhami oleh Roh kudus. Gerakan ekumene mengandung dorongan yang kuat pada Konsili Ekumenis Vatikan II. Konsili ini memberikan sebuah bantuan yang konkret untuk mempertemukan Gereja-Gereja yang terpecah melaui dekrit tentang ekumenisme, Dekrit Unitatis Redintegratio, yang mengandung cara dan usaha-usaha untuk mencapai persatuan umat Kristen yang terpecah.


2. Sejarah Perkembangan Gerakan Ekumene

Sejak awal Gereja sudah mengalami perpecahan. Bahkan sejarah mencatat bahwa “perpecahan Gereja itu umurnya bisa dikatakan setua umur Gereja itu sendiri. Artinya, sejak permulaan Gereja itu lahir telah terjadi perpecahan, sampai pada zaman kita pun roh perpecahan terus membawa perpecahan di dalam Gereja-gereja.Perpecahan Gereja itu terjadi dalam tiga babakan sejarah Gereja. Pertama terjadi setelah Konsili Khalkedon (451) dimana muncul ajaran Nestorianisme dan Monofisitisme yang tidak menerima penetapan rumusan kedua kodrat dalam satu pribadi bagi Yesus Kristus. Kedua, skisma Gereja Katolik Roma dan Gereja Ortodoks Yunani, yang secara tradisional mulai sejak tahun 1054. Dan ketiga pada abad ke-16, ketika protes Martin Luther (seorang pastor dan teolog Kristen, 1483-1546) terhadap Gereja Katolik mengakibatkan Reformasi Protestan dan perpecahan baru dalam Gereja di Barat. Selanjutnya, sejarah pun mencatat perpecahan-perpecahan yang semakin hebat setelah Reformasi Protestan. Kenyataan yang tak bisa disangkal bahwa terdapat berbagai macam Gereja Kristen, yang bukan hanya berbeda satu dengan yang lain, tetapi saling bertentangan. Misalnya terdapat Gereja Katolik, Gereja Orthodoks, Gereja Anglikan, Gereja Lutheran dan Calvinis, serta denominasional Gereja. Walaupun demikian keprihatinan untuk memulihkan kesatuan di antara umat Kristen pun hadir dalam diri segenap umat beriman.


3. Perkembangan Ekumene Dalam Gereja Protestan, Gerakan Ekumene Pada Abad-Abad Lalu Sampai Pada Konferensi Pekabaran Injil Sedunia Di Edinburg (1910)

Menurut catatan sejarah, usaha untuk mempersatukan Gereja-gereja telah dimulai sejak abad-abad lampau. Kaisar-kaisar Romawi Timur misalnya, menjaga keutuhan Gereja dengan memakai tentara untuk membawa kembali setiap kelompok Kristen yang tidak tunduk kepada paus. Calvin (teolog Kristen Perancis terkemuka pada masa Reformasi Protestan, 1509-1564) menggunakan jalan lain dengan menekankan aspek Alkitab. Menurutnya, kesatuan dapat diperoleh jika seluruh Gereja tunduk kepada kuasa Alkitab. Namun usaha-usaha ini kurang membawa hasil nyata. Sebab-sebab kultur-religius membuat jurang semakin dalam, yang juga telah didiamkan selama berabad-abad. Barulah pada antara abad ke-17dan abad ke-19 usaha mempersatukan orang-orang Kristen menemukan titik terang. Usaha ini timbul pertama-tama karena kesadaran bahwa Gereja yang didirikan oleh Kristus adalah Gereja yang Esa, oleh karena itu perpecahan Gereja pasti bertentangan dengan kehendak Kristus. Tugas Gereja adalah mempersatukan dunia di dalam Kristus, sehingga persatuan Gereja mutlak perlu demi usaha mempersatukan seluruh umat manusia di dalam Kristus.

Kesadaran akan usaha persatuan Gereja ini hidup khususnya dalam diri para cendekiawan Gereja, baik Katolik maupun Protestan, terutama ketika persatuan Gereja ditarik kembali pada akar kehidupan Gereja Kuno. Baik Gereja Katolik maupun Protestan, samasama mewarisi iman yang satu, yaitu “Pengakuan Iman Rasuli”. Oleh karena itu, kehidupan Gereja Kuno harus menjadi patokan perbaikan keadaan Gereja. Meskipun usaha ekumene bisa ditunjukkan pada tingkat ini, namun agaknya usaha perdamaian itu belum membawa hasil nyata. Usaha ini dinilai masih bersifat intelektual dan individual dan kurang berakar dalam kehidupan Gereja. Usaha persatuan Gereja-gereja dapat disimpulkan dalam dua macam usaha. Yang pertama adalah mencari titik perjumpaan dalam kehidupan Gereja Kuno, terutama pada Pengakuan Iman Rasuli yang merupakan warisan bersama setiap Gereja. Hanya dengan itu, Gereja Katolik dapat meniadakan penyimpangan-penyimpangan yang muncul, dengan hasil yang pasti pula perpecahan Protestan segera berakhir. Usaha kedua adalah merumuskan daftar pasal-pasal iman yang fundamental atau azasi untuk Iman Kristen (misalnya; Pembenaran orang berdosa karena iman). Sedangkan pasal-pasal iman yang dianggap tidak azasi (misalnya; Perjamuan Kudus) tidak boleh menjadi alasan untuk perpecahan Gereja. Lagi-lagi usaha pertama seperti yang dikatakan di atas masih terlalu bersifat intelektual untuk diterima secara umum. Sementara usaha kedua belum matang. Gereja-gereja masih terlalu mengindahkan rumusan-rumusan konfensionalnya masing-masing.


4. Perkembangan Ekumene Dalam Gereja Katolik, Sebelum Konsili Vatikan II

Sebelum Konsili Vatikan II, gerakan ekumene belum dirasakan sebagai kewajiban oleh Gereja Katolik. Hal ini dilatarbelakangi oleh sikap Konsili Vatikan I yang sungguh tegas dengan keesaannya, yakni Gereja yang satu-satunya, kudus, Katolik dan apostolik. Setiap orang yang memisahkan diri dari Gereja Katolik sebenarnya mereka telah memutuskan hubungan dengan Gereja yang benar.33 Bagi Gereja Katolik, gerakan ekumene tidak lain dari kembalinya saudara-saudari yang terpisah itu ke dalam Gereja Katolik. Pemikiran inilah, yang berakar dalam ajaran Gereja Katolik tentang Gereja, yang kemudian melatarbelakangi sikap Gereja Katolik untuk tidak turut serta dalam usaha-usaha dan gerakan yang menamakan diri ekumene. Meskipun pada konferensi Faith and Order di Edinbur (1937) terdapat lima orang Katolik yang hadir, tetapi ditekankan bahwa mereka tidak mewakili Gereja Katolik. Gereja Katolik menamakan dirinya Ecclesia Catholica yang mengumumkan bahwa dialah satu-satunya Gereja yang benar. Kepada Gereja-gereja Reformasi atau Protestan, Gereja Katolik menyatakan bahwa dia sajalah gembala kebenaran Tuhan, dan kepadanya diserahi tugas mengajar, memelihara dan mewartakan keselamatan Allah. Oleh karena itu setiap Gereja yang memisahkan diri dari Gereja Katolik mesti menyadari kesesatannya dan berkewajiban untuk menggabungkan diri kembali di dalam Gereja Katolik. Gereja Katolik memandang perpecahan yang terjadi dalam tubuh Gereja-gereja Protestan sebagai kutukan, karena mereka telah memisahkan diri dari satu-satunya Gereja yang menyelematkan. Pada prinsipnya, “di luar Gereja Katolik tidak ada keselamatan” (Extra Ecclesia Nulla Salus), sehingga barang siapa yang memisahkan diri dari Gereja Katolik maka anathema sit-lah dia (terkutuklah dia). Singktanya, Gereja Katolik merumuskan dirinya sebagai satu tubuh,

Kristus adalah kepala Gereja, dan wakilnya, paus, serta seluruh umat sebagai anggota anggotanya. Kristuslah yang memerintah atas Gereja yang kelihatan ini.

Sebelum Konsili Vatikan II perhatian Gereja Katolik terhadap gerakan ekumene adalah urusan pribadi orang-orang Katolik. Terutama, dilatarbelakangi oleh situasi Perang Dunia II, beberapa orang Katolik dan Protestan di Jerman, Belanda dan Perancis mencari hubungan yang lebih akrab melalui pertemuan dan pusat-pusat studi demi usaha bersama menyelesaikan krisis akibat perang. Meskipun demikian, dalam ensiklik “Mortalim Animos" Paus secara terang-terangan melukiskan perkumpulan-perkumpulan itu sebagai perkumpulan sembarangan orang, baik Kristen maupun bukan Kristen.38 Tampaklah bahwa Gereja Katolik tetap pada prinsip keesaannya, sehingga setiap hubungan ataupun persekutuan yang menyebut diri ekumene harus lahir dari keesaan Gereja Katolik.


5. Tujuan Gerakan Ekumene

Setelah melihat sejarah perkembangan gerakan ekumene dalam Gereja Protestan dan Gereja Katolik, perlulah melihat apa tujuan mendasar gerakan ekumene yang dijalankan oleh umat Kristen itu. Dalam Dokumen Konsili Vatikan II dikatakan bahwa, mendukung pemulihan kesatuan segenap umat Kristen merupakan salah satu maksud utama Konsili Ekumenis. Sebab, yang didirikan oleh Kristus Tuhan ialah Gereja yang satu dan tunggal. Semua umat kristen yang beriman pada Dia mengaku sebagai murid-murid Tuhan, sebagai pusaka warisan Yesus yang sejati bagi umat manusia, tetapi mempunyai pandangan yang berbeda-beda dan menempuh jalan yang berlainan pula, seolah-olah Kristus itu terbagi-bagi. Akhirnya Gereja Kristus yang satu dan tunggal itu menjadi majemuk dan berbeda-beda.

Tujuan gerakan ekumene pertama-tama untuk membuka dinding-dinding pemisah antar Gereja yang terpecah demi kesatuan. Kesatuan ini dinyatakan dalam doa, pewartaan, dialog, dan kegiatan-kegiatan lainnya. Umat Kristiani harus sadar bahwa persatuan umat adalah cita-cita Yesus sebagai kepala Gereja. Ia diutus oleh Bapa ke dunia, untuk menjadi manusia, dengan karya penebusan-Nya melahirkan kembali seluruh umat manusia, serta menyatukannya. Sebelum mempersembahkan diri sebagai kurban tak bernoda di altar salib, Ia berdoa kepada Bapa bagi kita umat beriman, “semoga semua bersatu, seperti Engkau, ya Bapa, dalam Aku, dan Aku dalam Dikau, supaya mereka pun bersatu dalam kita” (Yoh 17:21). Dan ketika Tuhan Yesus telah ditinggikan di salib dan dimuliakan, Ia mencurahkanmRoh yang dijanjikan-Nya. Melalui Roh itulah Ia memanggil dan menghimpun umat perjanjian baru, yakni Gereja, dalam kesatuan iman, harapan, cinta kasih, menurut ajaran Rasul, “Satu Tubuh dan satu Roh, seperti kalian telah dipanggil dalam satu harapan panggilan, satu Tuhan, satu Iman, satu Baptisan” (Ef 4:4-5). Sebab, kita semua adalah satu dalam Kristus melalui pembaptisan. Roh Kudus, yang tinggal di hati umat beriman, memenuhi serta membimbing seluruh Gereja, menciptakan persekutuan umat beriman.

Konsili Vatikan II dari sudut pandang Gereja Katolik menjelaskan bahwa, dalam baptisan umat dibenarkan dan dijadikan anggota Tubuh Kristus. Dan perlu diketahui juga bahwa Sakramen Permandian merupakan dasar persatuan dan ikatan orang Kristen. Semua orang yang dipermandikan adalah anggota Gereja walaupun dibawah naungan Gereja yang berbeda. Dengan demikian kesatuan umat juga didasarkan pada pembaptisan. Dan orang yang dibaptis dalam nama Yesus, dan berdasarkan baptisannya tersebut dipanggil untuk melibatkan diri dalam usaha mencari persatuan. Persatuan dalam baptisan mendorong orang kepada kesatuan yang penuh secara Gerejani.

Soal

1. Jelaskan gerakan ekumene!

2. Bagaimana gerakan ekumene di indonesia menurut penilaian kalian!


Kerjakan dan kirimkan hasilnya ke nomer WA guru mata pelajaran 085333885287 (Ibu Leny)

1,135 views0 comments

Comments


bottom of page